RAKCER.ID – Staf Khusus Kementerian Agama (Stafsus Kemenag), Dr Muhammad Nuruzzaman MSi menyampaikan terkait rumitnya izin mendirikan rumah ibadah di sejumlah daerah.
Menurutnya, jika izin mendirikan rumah ibadah sulit, maka sementara umat agama minoritas atau kaum minoritas dipersilakan menggunakan Kantor Kemenag untuk tempat ibadah sementara.
Hal itu merespons rencana diubahnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Baca Juga:IAIN Cirebon Gelar Rakerpim Bahas Nasib 2024, Ini Program Prioritas yang Akan DikejarCeritakan Siti Nurbaya, Mahasiswi HTN IAIN Cirebon Juara 1 Story Telling OASE PTKI
Menurut Kang Zaman, sapaan akrabnya, Kemenag mengusulkan agar Peraturan Bersama itu direncanakan dikuatkan menjadi Surat Keputusan Presiden. Tujuannya meminimalisir praktif diskriminasi pendirian rumah ibadah yang banyak terjadi di daerah.
Disinyalir, kata Zaman, politik daerah merupakan fenomena dinamis. Kerap kali yang dirugikan atas sentimen masyarakat terhadap proses politik tersebut kalangan penganut agama minoritas.
Dengan kekuatan hukum di bawah presiden diharapkan aturan pendirian rumah ibadah tidak lagi dijadikan komoditas politik lokal. Sehingga, umat penganut agama minoritas mendapatkan hak yang sama dalam menempuh regulasi.
“Ini mohon maaf yang sering terjadi itu di daerah. Mungkin karena politik lokal, kepala daerahnya nghak mau memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah,” kata Zaman.
Sebab itulah, untuk sementara Kemenag mempersilakan Kantor Kemenag di tingkat daerah, provinsi maupun pusat dijadikan tempat ibadah untuk penganut agama minoritas.
“Kalau perlu semua Kantor Kemenag ini bisa dimanfaatkan untuk menjadi tempat ibadah,” tegas Zaman.
Upaya meredam praktik diskriminasi dalam beragama dilandasi kehawatiran menguatnya aktivitas intoleransi keberagamaan di media sosial. Dimana konten keberagamaan yang cenderung radikal dan intoleransi mengalahkan konten keberagamaan moderat.
Baca Juga:Inovasi Luar Biasa! Kembangkan Aplikasi Biozym, Stand Expo IAIN Cirebon Juara 2 OASE PTKI 2023Kajian Lintas Agama IAIN Cirebon Beri Warning, Pesatnya Perdukunan Tantangan Nyata Umat Beragama
Berdasarkan data yang disampaikan Nuruzzaman, konten media sosial teror menempati angka 0,6 persen, konten moderat 17 persen, konten radikal 40 persen, dan konten intoleransi 43 persen.
Temuan ini membuka fakta bahwa, kelompok radikal dan intoleransi sangat aktif melakukan propaganda di media sosial. Sementara kelompok moderat cenderung kurang aktif bermedia sosial.
Dijelaskannya, efek domino dari kuatnya narasi diskriminasi dan intoleransi di media sosial berdampak pada internalisasi nilai-nilai anti keberagaman pada generasi muda. Dimana sejak dini sudah dicekoki konten ekslusif dan tertutup. (*)