Dan kalau dipikir-pikir… ini bukan cuma tentang siapa menang sekarang. Tapi tentang siapa yang paling siap untuk main catur panjang.
Siapa yang Sebenarnya Lebih Sakit?
Dari luar, baik Amerika Serikat maupun Cina terlihat percaya diri. Mereka saling lempar tarif, saling ancam dengan angka-angka, dan menampilkan wajah tegas seolah tak ada yang goyah. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, keduanya sebenarnya sedang berdarah-darah pelan-pelan.
Di kubu Amerika, para petani jadi salah satu korban paling awal. Ekspor kedelai ke Cina yang dulu jadi andalan, sekarang macet. Hasil panen melimpah, tapi pembelinya menghilang. Banyak dari mereka harus menanggung kerugian besar, bahkan ada yang terpaksa tutup lahan.
Baca Juga:Tertidur atau Terjaga? Kenapa Jam 1 Pagi Adalah Saat Paling Jujur dalam Hidupmu5 Alasan Kenapa Interior Rumah Gen Z Itu Instagramable Banget
Perusahaan otomotif pun ikut goyah. Suku cadang yang dulunya bisa didatangkan murah dari Cina, sekarang harganya melonjak. Rantai produksi jadi berantakan. Mobil jadi lebih mahal, dan konsumen pun ogah beli. Ujung-ujungnya, penjualan turun.
Bisnis kecil yang biasanya mengandalkan barang murah buatan Cina juga kena imbas. Mau restock barang jadi serba salah—harga naik, stok susah, dan margin makin tipis. Usaha kecil pun megap-megap, mencoba bertahan di tengah badai tarif yang mereka sendiri gak tahu kapan reda.
Tapi bukan berarti Cina adem ayem. Di balik layar, mereka juga kelabakan. Banyak pabrik di sana kehilangan pasar utama: Amerika Serikat. Produk-produk yang biasanya laris manis di sana, sekarang menumpuk di gudang. Beberapa harus menghentikan produksi, sebagian lain terpaksa merumahkan pekerja.
Investor asing pun mulai ragu. Mereka bertanya-tanya, “Apa masih aman invest di Cina?” Ketidakpastian membuat aliran modal melambat, bahkan pindah ke negara-negara lain yang lebih stabil.
Namun, Cina bukan pemain baru di dunia ekonomi global. Mereka punya trik cadangan sepert ganti target pasar. Alih-alih bergantung pada AS, mereka mulai melirik Asia Tenggara dan Afrika sebagai ladang ekspansi baru.
Produk-produk yang dulu dikirim ke barat, kini diarahkan ke selatan. Dan negara-negara seperti Indonesia pun jadi pasar potensial untuk menampung arus barang yang sebelumnya tertahan.