CIREBON, RAKCER.ID – Kesuksesan film Jumbo karya Visinema Studios tak hanya menghangatkan momen Lebaran 2025, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam sejarah perfilman animasi Indonesia.
Dengan raihan lebih dari 2 juta penonton dalam waktu singkat, Jumbo tidak hanya mencatat rekor sebagai film animasi lokal terlaris sepanjang masa, tetapi juga menyuarakan harapan bagi industri kreatif Tanah Air yang selama ini tertatih.
Namun, di balik visual memukau dan kisah menyentuh hati yang dibawakan karakter Don dan kawan-kawan, tersimpan perjalanan panjang dan tidak mudah perjalanan yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat.
Baca Juga:Film Jumbo dan Luka Kolektif, Ketika Film Animasi Menyentil Kita Diam-DiamBikin Merinding! Jumbo Jadi Film Animasi Indonesia Terlaris Sepanjang Masa, Ini Alasannya
Jejak Awal Animasi Indonesia: Lama Hadir, Namun Sering Terabaikan
Sejarah animasi Indonesia sejatinya telah dimulai sejak tahun 1933. Tokoh-tokoh seperti Dukut Hendronoto dan Suyadi (Pak Raden) menjadi pionir dalam mengembangkan karya-karya animasi lokal di era 1950 hingga 1980-an. Namun, gaung karya-karya tersebut lambat laun tenggelam di tengah derasnya arus animasi Jepang, Amerika, dan negara tetangga seperti Malaysia.
Meski Indonesia memiliki bakat-bakat luar biasa dalam bidang animasi, sayangnya sebagian besar harus mengembangkan karier di luar negeri demi mendapatkan ruang dan dukungan.
Sebut saja Rini Sugianto yang terlibat dalam produksi The Hobbit dan The Avengers, serta Andre Surya yang turut menyumbangkan keahliannya dalam film Transformers dan Iron Man. Keberadaan mereka menjadi bukti bahwa talenta Indonesia mampu bersaing di panggung dunia asal diberi kesempatan.
Kebangkitan Era Baru: Ketika Animasi Lokal Mulai Mendapat Tempat
Pada awal 2000-an, munculnya karakter seperti Si Juki, Adit Sopo Jarwo, hingga Nussa menjadi sinyal kebangkitan animasi lokal. Namun perjalanan tersebut masih jauh dari kata mudah. Produksi animasi menuntut biaya besar, waktu panjang, serta proses yang kompleks. Tak hanya itu, distribusi film animasi Indonesia pun masih terhambat, baik dari sisi promosi maupun dukungan dari jaringan bioskop.
Beberapa film berkualitas seperti Battle of Surabaya dan Knight Kris harus puas dengan jumlah penonton yang minim meski memiliki nilai artistik tinggi. Masyarakat pun masih sering menganggap bahwa animasi hanyalah konsumsi anak-anak, tanpa melihat potensi narasi yang bisa mencakup lintas usia.