Pola Konsumtif Masyarakat di Bulan Ramadhan Perlu Dikendalikan, Ini Bahayanya

TEKAN INFLASI. Tokoh ulama Cirebon, KH Mustofa Aqil Siroj memberikan pandangan dan ikut meminta masyarakat mengendalikan pola konsumtif di bulan Ramadhan pada FGD yang dimotori BI dan Komisi XI DPR RI. Cara itu untuk menekan inflasi. FOTO: ASEP SAEPUL MIELAH/RAKCER.ID
TEKAN INFLASI. Tokoh ulama Cirebon, KH Mustofa Aqil Siroj memberikan pandangan dan ikut meminta masyarakat mengendalikan pola konsumtif di bulan Ramadhan pada FGD yang dimotori BI dan Komisi XI DPR RI. Cara itu untuk menekan inflasi. FOTO: ASEP SAEPUL MIELAH/RAKCER.ID
0 Komentar

RAKCER.ID – Menjelang bulan Ramadhan, dipastikan angka kebutuhan masyarakat akan meningkat. Sehingga berakibat tingginya angka inflasi. Terutama kaitannya dengan konsumsi kebutuhan bahan-bahan pangan pokok.

Mengingat saat ini, inflasi masih menjadi momok yang menakutkan bagi sektor perekonomian. Bahkan tak hanya di Indonesia, prilaku konsumsi dengan tingginya kebutuhan masyarakat perlu dikontrol.

Komisi XI DPR RI, bersama Bank Indonesia membuka ruang Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan para tokoh ulama di Cirebon. Di dalamnya membahas mengenai pengendalian pola prilaku konsumtif selama Ramadhan.

Baca Juga:Sudah Pinjam ke BJB, Walikota Azis Minta Utang ke Kontraktor Segera DiselesaikanKonsumsi Air di Bulan Ramadhan Diprediksi Meningkat, Ini yang Disiapkan PDAM Kota Cirebon

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Cirebon, Hestu Wibowo menyampaikan, peningkatan kebutuhan masyarakat pada bulan Ramadhan kali ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena dibarengi dengan krisis global di sektor ekonomi yang disebabkan inflasi.

“Menjelang Ramadhan saat ini ada krisis global. Sudah terjadi kenaikan bahan pokok di pasar seluruh Indonesia. Dan Inflasi itu adalah kenaikan harga, barang atau jasa,” ungkap Hestu, Rabu 22 Maret 2023.

Meskipun inflasi terjadi di seluruh dunia, Bank Indonesia mencatat, bahwa angka inflasi di Indonesia tidak se-ekstrem negara lain.

Di tahun 2022 saja, inflasi Indonesia mampu bertahan di angka 5,5 persen. Dan angka tersebut rendah dibanding dengan negara-negara maju di Eropa yang inflasinya sampai di angka 9 persen. Bahkan, di negara sekaliber Turki, angka inflasinya sampai 98 persen.

Dijelaskan Hestu, berdasarkan hasil riset, dampak inflasi ini lebih besar menyasar masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.

Pasalnya, sumbangan inflasi terbesar masuk dari komoditi bahan pangan strategis. Seperti beras, cabai, bawang dan lainnya. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah, dari 100 persen pendapatannya dalam sebulan, 60 persennya digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.

Berbeda dengan kelas ekonomi menengah ke atas, kebutuhan pangan mereka hanya 20 persen dari pendapatan selama sebulan. Itulah mengapa dampak inflasi akan lebih dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah.

Baca Juga:75 Persen Jalan Rusak di Wilayah Selatan Kota Cirebon, Anggota DPRD Sampai Keluarkan Dana PribadiDPR Minta Kemendag Serius Beri Perlindungan Konsumen di Cirebon

“Menengah ke atas, kebutuhan pangan mereka tidak lebih dari 20 persen. Sehingga dampak inflasi sangat terasa oleh menengah ke bawah. Karena sumbangan konsumsi bahan pangan strategis yang tinggi. Menengah ke atas tidak terlalu terdampak. Maka, inflasi bukan cuma soal ekonomi, tapi juga persoalan sosial,” jelas Hestu.

0 Komentar