Sanggar Kirik Nguyuh Ciptakan Gamelan Sora Watu, Ternyata Batu Bisa Jadi Instrumen Musik

Sanggar Kirik Nguyuh
MELODI. Sanggar Kirik Nguyuh asal Desa Girimukti Kecamatan Kasokandel menciptakan alat musik dari batu yang dinamakan gamelan Sora Watu. rakcer.id/hasanudin
0 Komentar

RAKCER.IDSanggar Kirik Nguyuh Desa Girimukti Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka menciptakan alat musik dari serpihan batu andesit atau limbah gergajian batu.
Serpihan-serpihan batu beragam ukuran itu oleh Sanggar Kirik Nguyuh disusun di atas kayu seperti halnya alat musik khas Sunda saron. Cara memainkannya dengan dipukul.
Alat musik penemuan Sanggar Kirik Nguyuh itu memiliki panjang sekitar 50 cm, dan lebarnya ada yang mencapai 30 cm. Jumlahnya mencapai tujuh set yang setiap set beragam ukuran dan jumlah.
Tidak semua orang mampu memainkan alat musik tersebut, hanya mereka yang sudah terlatih yang mampu menabuh batu hingga mengeluarkan alunan nada dengan karakter tersendiri.
Alat musik ini juga mengeluarkan melodi yang bisa dinikmati pendengarnya. Hingga orang yang tidak paham musik bisa menikmati aluna melodi dari suara batu-batu yang dipukul dengan benda keras itu.
Pemilik Sanggar Seni Kirik Nguyuh, Baron Pamousa memberi nama alat musik tersebut Gamelan Sora Watu. Kalimat tersebut berasal dari bahasan Sunda yang artinya gamelan suara batu.
Seorang pemain gamelan Sora Watu, Sena Dipayana Supena (28), menyebutkan musik tersebut tercipta dari keprihatinan banyaknya limbah batu di Desa Salagedang Kecamatan Sukahaji.
Semula batu hanya dipuku-pukul tak beraturan, tapi lama kelamaan pukulan tersebut memiliki nada. Berulang kali batu-batu dicoba dipukul hingga keluar nada-nada yang indah untuk didengar.
“Nada yang keluar sementara ini pentatonik dengan lima oktaf, da, mi, na, ti, la da,” ujar Sena, lulusan Sastra Sunda.
Menurutnya, sementara ini gamelan Sora Watu belum mengiringi lagu-lagu ciptaan orang lain baik musik pop, jazz, atau rock. Sebab masih ada nada yang belum terkejar dengan musik yang dimainkannya.
Terlebih suara musik yang dikeluarkan dari batu tersebut sangat dipengaruhi cuaca, sama halnya dengan gamelan Sunda lainnya seperti kendang, saron, kemong dan lainnya jika terkena cuaca dingin maka suara yang dikeluarkan kurang bagus.
“Suara yang dikeluarkan tergantung suhu udara, ketika suhu udara panas maka suara yang dikeluarkan dari batu akan sangat nyaring dan bagus. Sebaliknya jika suhu lembab maka suara sedikit ngabelekbek (fals),” ujar Sena.

0 Komentar